Kamis, 22 Juli 2010

ORANG MUDA KATOLIK

POTENSI MEREKA BAGI KEKINIAN GEREJA

 

Siapa yang tidak sepakat dengan pernyataan ini: “Orang Muda Katolik adalah modal dasar bagi perkembangan Gereja masa kini dan masa depan”? Pendapat ini tentu saja benar.

Tanpa orang muda, apa jadinya peradaban umat manusia? Sudah demikian adanya, bahwa di dalam kehidupan manusia, kita mengalami fase perkembangan yang berbeda-beda. Para psikolog membagi fase perkembangan manusia dengan empat tingkatan: kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa. Tentu saja hal ini dapat diperinci lagi.

Dalam tulisan ini, saya secara khusus menaruh perhatian pada “Kesempatan yang harus diberikan kepada kaum muda, agar mereka dapat take action sesegera mungkin, sebagai bagian dari Gereja.

Kaum muda sendiri dapat didefinisikan sebagai penduduk yang berusia antara 15 – 35 tahun (penjelasan dari BPS). Pendapat ini di’amini’ oleh banyak Gereja lokal di Indonesia. Di beberapa keuskupan Indonesia, para petinggi Gereja menggunakan batasan serupa. Namun, kebanyakan organisasi muda katolik mengabaikan batasan yang demikian.Ttetap saja usia bukanlah batasan yang jelas. Yang penting adalah bahwa seseorang memiliki semangat muda, tentu saja dapat disebut sebagai orang muda.

            Bagaimanapun juga, kaum muda harus dilihat sebagai fase perkembangan manusia yang berada pada taraf tertentu, dengan kualitas dan ciri tertentu, istimewa, dengan hak dan kewajiban – peranan serta kewajiban tertentu, dan dengan potensi dan kebutuhan tertentu pula. Baiklah dilihat profil kaum muda secara sekilas.

 

A.     Potensi Orang Muda

1.      Intelektual

Sejalan dengan perkembangan fisik yang cepat, kemampuan intelektual mereka juga berkembang. Mereka mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. Mereka mampu berpikir melampaui kehidupannya, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Berpikir abstrak ini sering disebut sebagai berpikir formal operasional.

Berkembangnya kemampuan berpikir formal operasional pada kaum muda ditandai dengan tiga hal, yaitu:

a.       mereka mulai mampu melihat  tentang kemungkinan-kemungkinan;

b.      mereka mampu berpikir ilmiah: dari mulai merumuskan masalah, membatasi masalah, menyusun hipotesa, mengumpulkan dan mengolah data sampai dengan menarik kesimpulan;

c.       mereka mampu memadukan ide-ide secara logis, dan memadukan ide-ide tersebut ke dalam kesimpulan yang logis.

 

2.      Sosial dan Moral

a.      Sosial

Orang muda telah mempunyai pemikiran-pemikiran logis, tetapi dalam pemikiran logis ini mereka sering menghadapi kebingungan antara pemikirannya dengan pemikiran orang lain. Pada akhirnya mereka mengembangkan sikap egosentris,  berupa pemikiran-pemikiran subyektif logis dirinya tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam masyarakat atau kehidupan pada umumnya.

Egosentris ini sering muncul atau diperlihatkan dalam hubungan dengan orang lain, mereka tidak dapat memisahkan perasaan dia dan perasaan orang lain tentang dirinya.

Rasa kepedulian mereka terhadap kepentingan dan kesejahteraan orang lain cukup besar, tetapi kepedulian ini masih dipengaruhi oleh sifat egosentris. Mereka belum bisa membedakan kebahagiaan atau kesenangan yang dasariah dan yang sesaat, memperhatikan kepentingan orang secara umum atau orang-orang yang dekat dengan mereka.

 

b.      Potensi Moral

Orang muda mulai mengembangkan nilai moral berkenaan dengan rasa bersalah, bukan saja karena berbuat tidak baik, tetapi juga bersalah karena tidak berbuat baik. Dalam perkembangan nilai moral ini, masih ada kesenjangan. Orang muda sudah mengenal prinsip-prinsip yang mendasar, tetapi mereka belum mampu melakukannya, mereka sudah menyadari bahwa membahagiakan orang lain itu adalah baik, tetapi mereka belum mampu melihat cara merealisasikannya.

 

3.      Beragama dan Berkeyakinan

Perkembangan pemikiran orang muda mempengaruhi perkembangan pemikiran dan keyakinan tentang agama. Kalau pada tahap kanak-kanak pemikiran agama bersifat dogmatis, masih dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat konkret dan berkenaan dengan sekitar kehidupannya, maka orang muda sudah berkembang lebih jauh. Mereka mendasarkan pemikiran-pemikiran agama dengan pemikiran rasional, menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak atau gaib dan meliputi hal-hal yang lebih luas. Orang muda yang mendapatkan pembinaan agama yang intensif, bukan saja telah memiliki kebiasaan melaksanakan kegiatan peribadatan atau ritual agama, tetapi juga telah mendapatkan atau menemukan kepercayaan-kepercayaan khusus yang lebih mendalam yang membentuk keyakinannya dan menjadi pegangan dalam merespon masalah-masalah dalam kehidupannya.

Keyakinan yang lebih luas dan dalam ini bukan hanya diyakini atas dasar pemikiran, tetapi juga atas dasar keimanan. Perlahan-lahan mereka mengembangkan pemikiran Tuhan yang sesungguhnya, melepaskan diri dari gambaran Tuhan yang berciri manusia.

 

B.     Identitas Orang Muda

Mereka mulai menyadari dan karena itu menolak segala upaya orang lain untuk membentuk mereka. Mereka mau mencari dan membentuk pribadinya, identitasnya sendiri. Tetapi itu tidak berarti mereka tidak mau menerima campur tangan luar. Mereka mau menerima bimbingan penuh pengertian dari generasi tua, tetapi yang diharapkan adalah perlakuan sebagai teman sederajad dalam ide dan gagasan. Mereka mau dihargai sebagai pribadi yang sedang mempribadi, yang dalam proses mencari identitas dirinya.

Dalam proses itu, kaum muda mencari tokoh-tokoh, cita-cita, ide-ide, yang dapat menjadi tokoh identifikasi. Diawali dengan meniru tokoh identifikasi itu, lambat-laun mereka mulai membentuk sikap, prilaku dan pandangannya sendiri. Mereka mulai mampu melihat segala sesuatu dengan skala nilainya sendiri, sambil mencari alternative lain: tidak mau sekedar menyelaraskan diri dengan adat dan norma. Bahkan, kaum muda cenderung menolak kompromi dengan cara memberontak dan melawan situasi mapan untuk mengubah masyarakatnya, baik dalam tata hidup sosial maupun tata hidup moral dan keagamaan umumnya.

Bebas dan lepas yang diinginkan oleh kaum muda tidak lain daripada ketidakterikatan pada aturan-aturan ketat dalam adat dan norma. Bebas dan lepas yang diinginkan mereka tidak lain dari pada dambaannya untuk menentukan sendiri sikap, tindakannya dan masa depannya, terlepas dari kemampuan mereka untuk itu. Mereka mau mendapatkan pengakuan, yang berupa dorongan ego sebagai salah satu dorongan terkuat dalam diri orang muda, dan karena itu membutuhkan kesempatan untuk menyatakan diri dan membuktikan diri bisa berbuat sesuatu. Mereka tidak mau bahwa segalanya ditentukan hanya oleh orang tua, orang dewasa umumnya, dan Gereja saja.

 

C.     Kekinian Orang Muda

Anggapan umum yang sudah biasa didengar, bahwa kaum muda adalah generasi masa depan, yang karena itu belum punya tempat dan peranan dalam masa kini. Mereka baru dalam tahap persiapan untuk berperan nanti, apabila mereka tidak muda lagi.

Dengan menuntut kepercayaan dalam kehidupan masyarakatnya, kaum muda sampai pada kesadaran yang sangat penting akan diri mereka sebagai komponen masa kini. Dengan menuntut peran sekarang ini, kaum muda seolah-olah ingin melawan dalil kaum tua yang sering dijadikan alasan untuk tidak memberi peranan: orang muda belum bisa apa-apa, mereka belum punya pengalaman, dan seterusnya.

Kaum muda mau dianggap sebagai pekerjasama yang setaraf dengan generasi pendahulu. Hal ini menandakan bahwa kaum muda menginginkan suatu tanggung jawab yang penuh dalam partisipasi hidup menggereja dan memasyarakat. Itu berarti bahwa mereka tidak boleh dianggap sebagai pembantu, atau sebagai pelaksana gagasan orang tua saja. Mereka mau setara dalam partisipasi, mulai dari menggagaskan, merencanakan sampai melaksanakan dan meninjau kembali. Mereka ingin diberi peranan dan tanggung jawab sekarang ini, dan hanya dengan jalan itu mereka dapat menyambut dan menata masa depan.

Mengakui kaum muda sebagai komponen masa kini dan karena itu memberi peranan serta tanggung jawab kepada mereka kini, harus disadari pula sebagai salah satu bentuk dan sisi lain dari pembinaan mereka. Karena pada dasarnya mereka adalah mata rantai yang menghubungkan masa kini dan masa depan, dengan segala potensi, namun dengan segala keterbatasannya. Kedudukan yang strategis ini perlu disadari oleh kaum muda sendiri sebagai motivasi bagi keterlibatan dan partisipasi mereka dalam berbagai bentuk hidup sosial. Sekurng-kurangnya agar mereka mampu mencegah segala usaha kaum vested interest yang sering mau memperalat mereka.

 

D.    Kaum Muda dan “Dewasa Instant”

Salah satu sisi terpenting lainnya yang tidak boleh dikesampingkan dalam upaya membentuk membentuk konsep dasar tentang kaum muda ialah bahwa mereka dalam masa transisi masyarakat dan Gereja. Kaum muda mempunyai skala nilai sendiri dan mampu memandang persoalan dari berbagai segi. Namun, hal itu bukan terarti bahwa mereka sudah memiliki pegangan yang serba jelas. Sebaliknya, khususnya dalam masa remaja, mereka masih sangat labil. Tidak jarang mereka menjadi bingung sendiri menghadapi gejala-gejala pertumbuhan fisik-biologis, khususnya gejolak-gejolak seksualitas dalam dirinya. Kebingungan ini menjadi semakin rawan, oleh transisi nilai sosio-budaya yang melanda masyarakat.

Sementara itu, laju pembangunan dan modernisasi serta lancarnya arus komunikasi massa, kemudahan-kemudahan dalam kontak antar suku dan bangsa telah menggoyahkan tata nilai dan norma-norma lama. Masyarakat cenderung melepaskan nilai-nilai tradisional yang acapkali disamakan begitu saja dengan kekolotan, dan sering dengan mudah mengambil alih apa saja yang berbau barat. Kecenderungan itu lebih kuat lagi melanda kaum muda, seringkali tanpa sikap kritis. Baik terhadap nilai-nilai tradisional adat maupun terhadap nilai-nilai baru yang tanpa sadar mereka terima begitu saja. Di tempat yang masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai tradisional, nilai-nilai adat masih mengikat mereka sehingga memperlambat dalam berhubungan dengan nilai-nilai kristiani.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat mau melepaskan diri dari tata nilai dan norma lama. Sayangnya, masyarakat ternyata belum berhasil memegang tata nilai dan norma yang baru. (Seperti kata pepatah, “Bodoh sudah lewat, pintar belum dating”).

Menghadapi transisi yang membingungkan itu, kaum muda sering dituntut untuk bersikap dewasa. Mereka menjadi “Dewasa secara Instant”. Hal ini bukan saja melampaui batas kemampuan mereka, melainkan juga keliru. Sebab dengan demikian, kaum muda semata-mata dipandang sebaga pra-dewasa, pra-orang tua. Pandangan dan tuntutan ini tidak memberi peluang bagi kaum muda untuk menjadi dirinya sendiri, menemukan identitasnya sendiri. Konsep kedewasaan sudah digariskan oleh orang tua secara normatif. Lalu dengan ukuran ini orang-orang muda sering dinilai kaum tua sebagai serba kurang: kurang mampu, kurang pengetahuan agama, kurang penghayatan iman, kurang bermoral, kurang bertanggung jawab, dan sebagainya.

 

Kamis, 16 April 2009

Katekis Mari memahami arti, posisi, spiritualitas, tugas, dan persiapan menjadi katekis

1. Pengantar
Di tengah zaman yang semakin beragam, maka dituntut pula tenaga-tenaga yang tangguh dalam pewartaan iman. Bertolak belakang dengan perkembangan itu, susutnya jumlah orang muda yang terpanggil hidup menjadi seorang imam sangat memprihatinkan. Sedikitnya jumlah imam, biarawan dan biarawati pasti berpengaruh terhadap meluas dan mendalamnya pelayanan yang akan berakibat pada mutu iman umat.
Sembari merefleksikan keadaan di atas, patut disyukuri keterbukaan Gereja dengan menyatakan bahwa seluruh anggota Gereja memiliki derajat yang sama, walaupun masing-masing anggota Gereja memiliki fungsi yang khas pula. Kaum awam, yang tidak diperhitungkan keberadaannya pada masa sebelum Konsili Vatikan II, disadari juga sangat membantu perluasan hal yang disebut evangelisasi baru. Dari tengah-tengah kaum awam itu, ada pula yang disebut katekis. Mereka merupakan sekelompok orang yang mengalami pendidikan khusus perihal iman katolik, dan tentu saja bertugas mewartakan iman tersebut.
Tulisan ini merupakan ‘pengayaan’ dalam pendidikan agama katolik SMA kelas XI, perihal tugas kaum awam (Pelajaran 4: Hubungan Awan dan Hirarki sebagai Partner Kerja) yang ditujukan kepada semua saja para katekis, guru pendidikan agama katolik, dan kaum muda yang berkeinginan kuat menjadi pewarta sabda.

2. Pengertian
Katekis secara sederhana dapat dimengerti sebagai orang yang ber-katekese. Katekese sendiri, dalam anjuran apostolik Cathecesi Tradendae, Paus Yohanes Paulus II didefinisikan sebagai berikut:
Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 28).

Apakah semua anggota Gereja dapat disebut katekis? Setiap anggota Gereja, karena pembaptisan mereka, mereka menjadi nabi, imam dan raja. Oleh sebab itu, adalah kewajiban seluruh anggota Gereja untuk mengajar iman katolik. Akan tetapi, tidak semua orang sanggup membina dalam ajaran iman Katolik. Karena itulah Gereja mengutus katekis-katekisnya. Para katekis itu seharusnya para imam (Bdk. Kitab Hukum Kanonik, Kanon 773). Akan tetapi, karena kekurangan imam, dan juga karena lingkup pewartaan yang terbatas (tidak dapat menyentuh hal-hal detail seluruh aspek kehidupan) maka dipilihlah para katekis dari lingkungan kaum awam:
Para pastor paroki, demi jabatannya harus mengusahakan pembinaan katekis orang-orang dewasa, kaum remaja dan anak-anak; untuk tujuan itu hendaknya ia mempergunakan bantuan tenaga para klerikus yang diperbantukan kepada paroki, tenaga para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan [...] serta tenaga orang beriman kristiani awam, terutama para katekis [...] (KHK 776)

Gereja membatasi bahwa yang disebut katekis adalah para awam, baik pria maupun wanita, yang diberi kursus agama atau apabila mungkin diusahakan agar mereka mengikuti pendidikan formal seperti Pendidikan Guru Agama, Sekolah Tinggi Katekatik, Institut Pastoral, dan sejenisnya. Demikian Kitab Hukum Kanonik (KHK) dianjurkan agar para Ordinaris Wilayah (Uskup) memiliki katekis-katekis yang dipersiapkan dengan baik dan yang dibina terus-menerus (Kanon 780).

3. Kedudukan Katekis dalam Gereja
Merujuk pada pengertian di atas, maka dapatlah ditentukan kedudukan katekis di dalam Gereja. Katekis, merupakan rekan kerja para hirarki dalam pelayanan yang berguna untuk membangun Gereja. Setiap kebijakan misioner para katekis harus berada di bawah kebijakan ordinaris wilayah (uskup) dan para pembantunya (para imam). Karena kekhasan fungsinya, kaum hirarki menjadi isimewa dalam pelayanan pewartaan. Akan tetapi, katekis bukan hanya sebagai pelengkap penyerta saja. Ia, dengan fungsinya yang khas pula (yakni bertugas di tengah tata dunia) menjadi teman seperjuangan yang patut diperhatikan nasehat dan tindakannya sejauh demi kepentingan Gereja.
Di tengah kaum awam sendiri, seorang katekis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan para awam lainnya. Pewartaan dalam tata dunia dilaksanakan secara bersama-sama. Akan tetapi, tidak semua hal dalam pewartaan itu dapat dilaksanakan oleh semua awam. Dalam tugas-tugas khusus, di sinilah katekis menjadi bentara Gereja.

4. Spiritualitas
Sejatinya, spiritualitas katekis adalah hidup dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui katekis terus-menerus dalam identitas khusus, dalam panggilan dan tugas perutusannya. Dengan bantuan dan pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup.
Katekis adalah misionaris. Paus Yohanes Paulus II berkata, “Misionaris sejati adalah santo” (Redemptoris Missio 90 [RM 90]). Sama seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidup mereka, katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidupnya. Itu berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya melalui ucapan kata saja, melainkan juga melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah katekismus.
Bunda Maria adalah teladan iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Sikap yang demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka.
Oleh sebab itu, spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri: terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, bersemangat misioner, dan menaruh hormat dan devosi kepada Bunda Maria.

5. Tugas
Tugas khusus katekis adalah mengajarkan katekese. Tugas ini mencakup pendidikan kaum muda dan orang dewasa dalam hal iman, menyiapkan para calon dan keluarganya untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi dalam Gereja, dan membantu memberikan retret dan pertemuan-pertemuan lainnya yang terkait dengan katekese (Bdk. RM 74)
Katekis bekerjasama dalam berbagai bentuk kerasulan dengan kaum hirarki. Bimbingan dan pengarahan dari para petugas Gereja ini akan diterima dengan senang hati oleh para katekis. Tugas mereka dalam hal ini antara lain: mengajar orang-orang bukan kristen; memberi katekese kepada para katekumen dan mereka yang sudah dibaptis; memimpin doa dalam kelompok, terutama pada liturgi dan hari Minggu ketika tidak ada imam; membantu orang sakit dan mempimpin upcara penguburan; memberi pelatihan kepada katekis lainnya di pusat-pusat khusus atau bimbingan katekis relawan dalam karya mereka; mengambil inisiatif-inisiatif pastoral dan mengorganisir tugas-tugas paroki; membantu orang miskin dan bekerja untuk penbangunan manusia dan keadilan.

6. Persiapan menjadi seorang katekis
Menjadi katekis tidaklah mudah, mengingat tugas yang dipercayakan kepada mereka sangat sukar. Oleh sebab itu, para katekis perlu dipersiapkan sedemikian rupa melalui pembinaan dan pendidikan yang tepat, sehingga menjadi pejuang-pejuang misi yang tangguh.
Beberapa hal patut diperhatikan berkenaan dengan hal itu:
a. Memupuk semangat bertanggung jawab, bersukacita di dalam tugas pelayanan yang diberikan kepadanya.
b. Memiliki motivasi yang baik dan tidak mencari kedudukan sebagai katekis hanya karena tidak tersedia pekerjaan lain yang lebih disukai. Kualitas yang harus dimiliki: iman yang terungkap dalam kesalehannya dan kehidupannya sehari-hari; cinta akan Gereja dan menjalin hubungan erat dengan para imam; cinta akan saudara-saudarinya dan bersedia memberi pelayanan dengan murah hati; memiliki pendidikan yang memadai; hormat akan umat; mempunyai kualitas manusiawi, moral, dan teknis yang diperlukan sebagai seorang katekis.

7. Penutup: sebuah refleksi
Akan jadi apakah Gereja apabila katekis melupakan arah dan tujuan panggilannya? Umat prihatin apabila ucapan dan tindakan katekis tidak sejalan. Seharusnya katekis pertama-tama bukan mengajar dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan di dalam hidupnya. Apabila ini dipahami sedemikian rupa, maka umat tidak akan melihat katekis yang duduk di warung kopi sambil bermain judi, alkoholik, dan sebagainya.
Para calon katekis di dalam pendidikan kelak harus mampu mengimplementasikan ilmu-ilmu dari diktat ke dalam kehidupannya. Menjaga hubungan kerjasama dengan otoritas hirarki akan jauh lebih baik menjadi dasar membangun Gereja daripada menjadikan para hirarki itu ‘saingan’. Katekis tidak akan mampu berkarya tanpa singgungan langsung dengan kebijakan pimpinan Gereja.
Kaum muda yang berkeinginan kuat menjadi seorang katekis hendaknya memupuk semangat iman sejak dini, sehingga memiliki kepekaan mewartakan imannya. Yakinlah, bila ada keinginan baik di dalam hati maka segala kekurangan akan tertutupi. Tidak semuanya sempurna, tetapi penting untuk terus berusaha sampai kepada kesempurnaan itu.

(Dari berbagai Sumber)

MENGAWASKAN PACEKLIK Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi

Refleksi Kehidupan:

MENGAWASKAN PACEKLIK
Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi
Oleh: ROBERTUS REDI


Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, pada tahun 1983 Indonesia mampu berswasembada beras. Selang beberapa tahun kemudian, Indonesia sudah mengekspor beras ke manca negara. Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang dicanangkan pemerintah di bidang pertanian mendulang sukses besar. Bayangkan, betapa banyak beras ketan Indonesia yang harus dibarter seharga sebuah pesawat terbang. Dan itu pernah terjadi, ketika Indonesia membeli pesawat terbang dibarter beras ketan. Luar biasa! Hingga saat ini, pemerintah terus memperhatikan aktivitas pertanian. Misalnya saja, kasus bibit padi Super Toy yang gagal panen. Walaupun gagal, tetap saja ada usaha untuk mengangkat citra Indonesia sebagai negara pertanian. Lebih dekat lagi, menjelang pemilihan presiden (Pilpres): banyak calon presiden menggunakan isu pertanian sebagai janji politik. Janji ini belum terbukti kebenarannya. Namun, tetaplah ada itikad baik untuk melanjutkan nama besar Indonesia sebagai negara argraris.
Perkembangan usaha di bidang pertanian itu memojokkan kata paceklik sebagai kosakata di dalam kamus saja. Generasi terkini Indonesia hampir tidak mengenal kata paceklik selain untuk mengisi jawaban soal ujian, atau sekedar pengetahuan. Berbeda dengan kakek-nenek mereka yang mengenal kata tersebut dari merasakannya, generasi terkini mayoritas hidup dengan berlimpah pangan.
Tidak asinglah bila terjadi paceklik di beberapa daerah di Indonesia. Hal itu tidak dapat dihindari karena alam yang memang tidak menguntungkan untuk menanam pangan pokok. Lain ceritanya paceklik terjadi di Kalimantan, pulau yang subur makmur, surga flora dan fauna, paru-paru dunia. Tidak lucu, melainkan menyedihkan.
Kenyataan ini mengganggu pikiran saya. Ada sesuatu yang ganjil...
Bila berbicara tentang Kalimantan, maka kita tidak dapat mengabaikan orang Dayak sebagai suku bangsa asli penguasa pulau. Dengan kearifannya, orang Dayak sangat menjunjung tinggi harmoni alam. Orang Dayak merupakan petani yang baik. Akan tetapi, tetap saja di beberapa tempat terjadi paceklik. Mengapa?
Sudah dikatakan bahwa orang Dayak adalah petani yang baik, ulet dan pantang menyerah. Seluruh kearifan adat budayanya didasarkan pada harmoni alam yang teguh. Ternyata itu belum cukup untuk membangun kesejahteraan hidup yang layak di tengah-tengah dunia. Bila ingin maju, maka orang Dayak harus belajar untuk menerima teknologi baru yang pasti lebih baik, mencerap kearifan di luar dirinya dengan bijaksana. Dewasa ini, dengan teknologi pertanian yang modern, ternyata alam bisa juga sedikit banyak dikendalikan oleh tangan manusia. Tanpa kehilangan kearifan adat budayanya, selayaknya orang Dayak memanfaatkan teknologi itu untuk kesejahteraannya.
Bulan April, Mei, dan Juni merupakan bulan-bulan Nosu Mino Podi, Pesta Gawai Padi Baru atau Tahun Baru Padi. Tentu saja bulan-bulan tersebut merupakan momen yang menggembirakan. Usaha satu tahun kita nikmati dengan sukacita, sambil bersyukur kepada Tuhan atas rahmat pemberiannya. Even-even besar dilaksanakan. Festival Budaya Dayak dapat dikunjungi di segala daerah. Makan-minum sampai kenyang silih berganti diadakan di kampung-kampung. Namun, harus pula disadari, pesta ini bukan pesta ‘habis-habisan’ yang meludeskan padi di lumbung, mengancam babi dan ayam di kandang. Pesta ini kiranya terutama menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi seluruh kehidupan selama setahun yang lampau, sekaligus juga membuat rencana yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Apabila tidak ada evaluasi dan rencana, di situlah paceklik berubah dari kata menjadi rasa.
Masih ada hidup setahun yang akan datang. Oleh sebab itu, awaskan diri dari paceklik. Pesta yang berlebihan akan menguras lumbung sehingga licin. Apabila tidak bijaksana, maka tidak ada lagi sisa untuk makan sehari-hari. Kan tidak lucu jika petani padi membeli beras di warung. Pesta itu perlu, bersyukur itu wajib. Akan tetapi Tuhan pasti juga tidak mau jika kemudian kita melarat.
Sembari bergembira-ria, mari kita bangun beberapa hal:
1. Membuka diri kepada dunia pertanian yang lebih modern, tanpa kehilangan identitas kita sebagai orang Dayak yang mencintai alam. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak menyejahterakan kita, selayaknya abaikan. Boleh jadi di masa mendatang kita turut disalahkan karena mempertahankan kebiasaan yang merugikan.
2. Me-manage kehidupan. Itu berarti kita harus membuat rencana. Buatlah rencana yang masuk akal dan tidak bertele-tele. Hal-hal logis tentu akan mudah kita laksanakan, dan dengan demikian target kesejahteraan sehari-hari tercapai.
3. Mengabaikan pesta berlebihan. Pesta-pesta yang menguras waktu, tenaga, dan usaha selama setahun tentu sangat naif dipertahankan. Itu berarti kita mencintai kemelaratan. Bukan pesta yang seharusnya mengatur kita, melainkan kitalah yang seharusnya mengatur pesta.
Apa pendapat Anda?

Rabu, 04 Februari 2009

Link Buku Sekolah Elektronik

ini dia link Buku Sekolah Elektronik yang semakin memasyarakat dan banyak digunakan oleh para pembelajar. Semoga apa yang ada di sini bisa membantu kita dalam belajar dan mengajar!

www.depdikbud.go.id

www.depdiknas.go.id

www.bs-e.net

www.e-dukasi.net

www.apakabarpsbg.com

www.cyberschool.net

www.rumahdunia.net

Kamis, 22 Januari 2009

PELAJARAN 1

KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA

(KSPL)

1. Proses terjadinya KSPL

Setiap suku atau bangsa mempunyai pengalaman yang menggembirakan ataupun pengalaman duka dalam hubungan dengan alam dan manusia. Dari pengalaman dengan alam, manusia mulai bertanya dan berpikir tentang asal usul alam ini. Mereka berpikir, mungkin bahwa semua isi alam tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi harus berasal dari Yang Maha Kuasa, yang kemudian mereka namakan Dewa, Allah, dan sebagainya.

Dari pengalamannya dengan sesama manusia, mereka berpikir tentang perang, kejahatan, dosa, dan sebagainya. Mereka mungkin berpikir bahwa kejahatan bukan berasal dari Yang Maha Kuasa, melainkan ada sesuatu yang lain, yakni si jahat atau setan.

Penemuan-penemuan itu dapat menjadi keyakinan yang sangat kuat bagi suku bangsa itu. Keyakinan tersebut kemudian mereka wariskan kepada anak cucu dalam bentuk cerita agar mudah dimengerti dan diingat.

Bagi bangsa Israel, hubungannya dengan alam dan manusia menjadi ajaran yang sangat lkuat. Ajaran dalam bentuk cerita itu berasal dari Allah. Sejalan dengan pikiran itu, ajaran tersebut harus dimengerti sebagai firman Allah, karena semua itu terjadi berkat ilham dan bimbingan Roh Allah. Jadi, bukan firman langsung dari Tuhan, melainkan firman Tuhan melalui pengalaman dan penemuan bangsa Israel berkat ilham dan bimbingan Roh Allah.

Seluruh KSPL adalah kitab iman – Kitab Iman bangsa Israel – bukan riwayat hidup dan sejarah dari seseorang atau bangsa Israel. Tokoh-tokoh dalam KSPL dapat saha tokoh sejarah dan memiliki latar belakang sejarah, tetapi dalam KSPL terutama dimuat imand ari bangsa terpilih itu.

KSPL sesungguhnya mengisahkan pra-sejarah, yakni kisah penciptaan sampai dengan Menara Babel (Kej 1-11) dan sejarah Israel mulai dari Abraham yang hidup sekitar tahun 2000/1800 SM sampai menjelang Yesus Kristus. Namun, sejarah yang ditulis dalam KSPL lebih merupakan sejarah iman. Maka untuk mengetahui proses terjadinya KSPL, dimulai dengan awal sejarah Israel yaitu sekitar tahun 1800 SM.

  • Antara tahun 1800-1600SM

Zaman Bapa-bapa bangsa (Abraham – Ishak – Yakub). Periode ini adalah awal sejarah bangsa Israel yang dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam tahun-tahun inilah Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12-50. Kisah mereka kemudian diteruskan secara lisan, turun-temurun.

  • Antara tahun 1600-1225 SM

Kisah bangsa Israel mengungsi ke Mesir, perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai Perjanjian Sinai. Kisah-kisah tersebut juga masih disampaikan secara lisan. Mungkin sekali 10 perintah Allah dalam rumusan yang pendek sudah ditulis pada masa ini sebagai pedoman hidup.

  • Antara tahun 1225-1030 SM

Perebutan tanah Kanaan dan zaman yang diyakini sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan kehidupan bansa Israel di tanah yang baru di bawah para tokoh yang diberi gelar Hakim. Hakim-hakim itu misalnya Debora, Simson, dan lain sebagainya. Di samping cerita pada masa ini, juga terdapat beberapa hukum.

  • Antara tahun 1030-930 SM

Periode raja-raja. Pada periode ini, bansa Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka mulai menganut sistem kerajaan yang diawali dengan raja Saul, kemudian digantikan raja Daud, dan diteruskan Salomo putera Daud. Pada masa inilah bangsa Israel menjadi cukup terkenal dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo, bagian-bagian Kitab Suci Perjanjian Lama mulai ditulis. Misalnya, kisah penciptaan manusia, manusia jatuh dalam dosa dan akibatnya, bapa-bapa bangsa, kisah para raja, beberapa bagian mazmur, dan hukum-hukum.

  • Antara tahun 930-722 SM

Kerajaan Israel dan Yehuda. Sesudah Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Israel (kerajaan Utara) dan Yehuda (kerajaan Selatan). Kerajaan Utara hanya berlangsung sampai tahun 722 SM.

Pada periode ini ditulis lanjutan Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama yang melengkapi cerita-cerita Kitab Taurat Musa serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul pewartaan para nabi seperti Elia dan Elisa, Hosea, Amos. Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis. Pada masa ini, bberapa kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis. Kita dapat membacanya dalam Kitab Ulangan.

  • Antara tahun 722-587 SM

Sementara kerajaan Utara sudah jatuh, kerajaan Selatan masih berlangsung, dan berdiri kokoh, sampai pada tahun 587 SM mereka juga jatuh dan dibuang ke Babilon.

Pada masa ini beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapa-bapa bangsa mulai disatukan. Demikian juga, pewartaan para nabi mulai ditulis dan sebagian diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul kitab sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.

  • Antara tahun 586-539 SM

Zaman pembuangan Babilon. Orang-orang Israel yang berasal dari kerajaan Yehuda hidup di pembuangan Babilon atau Babel selama kurang lebih 50 tahun.

Pada masa ini penulisan Kitab Sejarah dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan Kitab Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabi-nabi, pewartaan para nabi sebelum pembuangan ditulis pada zaman ini. Muncul juga para imam yang menuliskan hukum-hukum yang sekarang masuk dalam Kitab Imamat.

  • Antara tahun 538-200 SM

Sesudah pembuangan, bansa Israel diizinkan pulang kembali ke tanah airnya oleh raja Persia yang mengalahkan Kerajaan Babilon.

Pada masa ini kelima Kitab Musa telah diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua, Hakim-hakim, I-II Samuel, dan raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang diselesaikan. Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita terima hingga saat ini. Pada masa ini muncul juga beberapa tulisan Kebijaksanaan.

  • Dua abad terakhir

Pada masa ini ditulis kitab-kitab seperti: Daniel, Ester, Yudith, Tobit, I-II Makabe, Sirakh, dan Kebijaksanaan Salomo.

  • Kanon KS

Orang Yahudi menentukan sejumlah kitab sebagai Kitab Suci. Daftar kitab-kitab yang mereka terima sebagai Kitab Suci disebut KANON. Kitab-kitab yang terdapat dalam kanon disebut kitab kanonik. Orang Yahudi hanya menerima Kitab Suci aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, sedangkan yang ditulis dalam bahasa Yunani tidak mereka terima. Jumlah Kitab Suci yang diterima sebanyak 39 kitab. Kitab yang diakui sebagai kanonik tersebut diakui resmi sebagai Kotab Suci dan dijadikan patokan atau norma imannya.

Kitab-kitab kanonik itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan ditambah dengan beberapa tulisan yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani. Terjemahan itu dinamakan Septuaginta (LXX). Dalam Septuaginta terdapat semua kitab kanonik orang Yahudi dan ditambah sejumlah kitab yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani, yang diterima Gereja Katolik (namun ditolak Gereja Protestan) sebagai Kitab Suci. Kitab-kitab itu adalah: Makabe, Sirakh, Kebijaksanaan, Yudith, Tobit, Barukh, Tambahan Kitab Daniel, Tambahan Kitab Ester, dan Surat Yeremia. Dengan demikian jumlah KSPL yang diterima Gereja Katolik berjumlah 46 kitab. Kitab Suci lengkap yang diakui Gereja Katolik tersebut disebut Deuterokanonika.

2. Bagian-bagian KSPL

Ada tiga model pengelompokan dalam KSPL, yaitu Kitab Sejarah, Kitab Kebijaksanaan, dan Kitab Nabi-nabi.

Berikut tabel pengelompokkannya:

No.

Kitab Sejarah

Kitab Kebijaksanaan

Kitab Nabi-nabi

1.

Kejadian

Ayub

Yesaya

2.

Keluaran

Mazmur

Yeremia

3.

Imamat

Imamat

Ratapan Yeremia

4.

Bilangan

Pengkotbah

Barukh

5.

Ulangan

Kidung Agung

Yehezkhiel

6.

Yosua

Kebijaksanaan

Daniel

7.

Hakim-hakim

Putera Sirakh

Hosea

8.

Rut

Yoel

9.

I Samuel

Amos

10.

II Samuel

Obaja

11.

I Raja-raja

Yunus

12.

II Raja-raja

Mikha

13.

I Tawarikh

Nahum

14.

II Tawarikh

Habakuk

15.

Ezra

Zefanya

16.

Nehemia

Hagai

17.

I Makabe

Zakaria

18.

II Makabe

Maleakhi

19.

Tobit

20.

Yudit

21.

Ester

Bag 1: Sepekan Memahami Sakramen


1

Hari Pertama:

Sakramen Itu Apa?

  1. Sakramen adalah Lambang atau Simbol

Keseharian kita selalu berhadapan dengan banyak benda atau perbuatan yang pada dasarnya memiliki makna dan arti yang jauh lebih dalam daripada benda atau tindakan itu sendiri. Misalnya, dengan warna-warni lampu di perempatan jalan, kita diatur untuk menggunakan sarana lalu lintas jalan. Ketika lampu merah, kita berhenti, dan mempersilahkan kendaraan dari jalur lain lewat. Ketika lampu berwarna hujau, kita berjalan, dan apabila lampu kuning menyala, kita mulai berhenti, atau hati-hati.

Contoh lain lagi. Ketika seorang teman menraktir makan minum di hari ulang tahunnya, itu bukan sekedar makan minum biasa. Lebih daripada itu, tindakan makan minum tersebut merupakan ungkapan syukur, rasa cinta, penghargaan, dan persahabatan.

Sakramen, dalam Gereja Katolik, dapat dianalogikan dengan tindakan simbolik demikian. Gereja memakai menggunakan sakramen-sakramen sebagai lambang dan ungkapan karya penyelamatan Allah.

Kata sakramen sendiri berasal dari bahasa Latin, sacramentum. Asal kata sacramentum berasal dari bahasa Yunani, symbolon. Baik sacramentum maupun symbolon memiliki pengertian yang sama, yaitu tanda atau lambang.

  1. Ungkapan Karya Tuhan yang Menyelamatkan

Pertama-tama harus dipahami adalah, Yesus Kristus merupakan sakramen. Mengapa? Seperti sudah dikatakan sebelumnya, sakramen berarti tanda. Nah, justru di dalam Yesus Kristus lah Allah yang tidak tampak (transenden) menjadi kelihatan (imanen), dan Ia ada di dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam Diri Yesus Kristus, orang dapat melihat, mengenal, mengalami Diri Allah sendiri.

Setelah Yesus berkarya di dunia, Ia naik ke surga. Ia tidak kelihatan lagi di dunia. Akan tetapi, dalam iman kita, kita yakin bahwa ia tetap hadir secara rohani di tengah-tengah kita. Bagaiman cara ia tampak dalam kehidupan kita? Ia tampak melalui Gereja-Nya. Bukankah Gereja adalah tubuh-Nya sendiri?

Gereja kemudian menjadi alat dan sarana penyelamatan Allah, tempat Kristus tampak untuk menyelamatkan umat manusia.

Kristus, melalui Gereja, bertindak secara ajaib menyelamatkan dunia. Tindakan itulah yang disebut sakramen. Sakramen merupakan “tangan” Kristus yang menjamah, merangkul, dan menyembuhkan kita. Melalui manusia biasa (para imam), dan dengan tanda atau simbol, serta dengan kata-kata yang biasa, Kristus hadir dan berkarya di dalam umat-Nya.

  1. Sakramen Meningkatkan dan Menjamin Hidup Kristiani

Setiap budaya di segala tempat di dunia, pasti ada memiliki suatu perayaan yang menandai saat-saat penting kehidupan manusia. Ketika seorang anak manusia lahir, maka diadakanlah upacara syukuran (potong rambut, tusuk kuping, dsb.). Seorang pemuda atau pemudi yang akil balik jika mau digolongkan dewasa, harus melewati beberapa ujian dan ditunjukkan pada suatu upacara (Orang Nias terkenal dengan Loncat Batu-nya). Demikian juga ketika hendak membangun sebuah rumah tangga, ada upacara adat sebagai syarat. Berikutnya, masih ada banyak upacara lagi yang harus diikuti.

Lebih kurang sama, Sakramen juga menjadi tanda dalam saat-saat penting kehidupan seorang kristiani. Seseorang yang hendak masuk dalam lingkungan umat Allah pertama-tama ditandai dengan baptis. Kedewasaannya ditandai dengan krisma. Ketika ia memilih hidup bekeluarga ia menerima sakramen perkawinan, dan atau menjadi pelayan Allah secara khusus, ia menerima sakramen imamat. Sementara itu, ada tobat yang diterima sebagai rahmat pengampunan, ekaristi sebagai tanda kesatuan dan perminyakan orang sakit sebagai sarana penguatan dari Roh Kudus-Nya. Singkatnya, sakramen-sakramen adalah cara dan sarana Kristus untuk menjadi tampak, dan dengan demikian dapat dialami oleh manusia.

Sakramen-sakramen yang adalah tanda kehadiran Kristus itu tidak bekerja secara otomatis. Rahmat itu perlu ditanggapi oleh manusia sendiri. Tanggapan itu berupa sikap batin yang selalu mengimani-Nya, dan dengan demikian memiliki kehendak baik. Akan tetapi kehendak saja masih tidak cukup. Harus ada suatu tindakan nyata yang menunjukkan keberimanan dan kehendak yang baik.

Di dalam sakramen terjadi pertemuan antara Kristus dan manusia. Kristus yang berperan dalam upacara tersebut harus pula diimbangi dengan peran manusia (sikap iman). Kristus tidak akan menyelamatkan orang yang memang tidak mau diselamatkan atau yang tidak percaya.

Berikutnya kita akan masuk ke Sakramen satu per satu …

Selasa, 20 Januari 2009

Apa yang Kau cari


Apa yang kau cari?

Di antara detik …

Menit …

Jam …

Apa yang kau cari?

Bila hening dalam khayal …

Logika …

Konsep …

Apa yang kau cari?

Bila Dia datang …

Tak diundang …

Mencintai …

Yang harus kau cari:

Kebijaksanaan tak terbatas …

Mencintainya dengan sepenuh hati …

Melaksanakannya dalam hidup …