Kamis, 16 April 2009

MENGAWASKAN PACEKLIK Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi

Refleksi Kehidupan:

MENGAWASKAN PACEKLIK
Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi
Oleh: ROBERTUS REDI


Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, pada tahun 1983 Indonesia mampu berswasembada beras. Selang beberapa tahun kemudian, Indonesia sudah mengekspor beras ke manca negara. Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang dicanangkan pemerintah di bidang pertanian mendulang sukses besar. Bayangkan, betapa banyak beras ketan Indonesia yang harus dibarter seharga sebuah pesawat terbang. Dan itu pernah terjadi, ketika Indonesia membeli pesawat terbang dibarter beras ketan. Luar biasa! Hingga saat ini, pemerintah terus memperhatikan aktivitas pertanian. Misalnya saja, kasus bibit padi Super Toy yang gagal panen. Walaupun gagal, tetap saja ada usaha untuk mengangkat citra Indonesia sebagai negara pertanian. Lebih dekat lagi, menjelang pemilihan presiden (Pilpres): banyak calon presiden menggunakan isu pertanian sebagai janji politik. Janji ini belum terbukti kebenarannya. Namun, tetaplah ada itikad baik untuk melanjutkan nama besar Indonesia sebagai negara argraris.
Perkembangan usaha di bidang pertanian itu memojokkan kata paceklik sebagai kosakata di dalam kamus saja. Generasi terkini Indonesia hampir tidak mengenal kata paceklik selain untuk mengisi jawaban soal ujian, atau sekedar pengetahuan. Berbeda dengan kakek-nenek mereka yang mengenal kata tersebut dari merasakannya, generasi terkini mayoritas hidup dengan berlimpah pangan.
Tidak asinglah bila terjadi paceklik di beberapa daerah di Indonesia. Hal itu tidak dapat dihindari karena alam yang memang tidak menguntungkan untuk menanam pangan pokok. Lain ceritanya paceklik terjadi di Kalimantan, pulau yang subur makmur, surga flora dan fauna, paru-paru dunia. Tidak lucu, melainkan menyedihkan.
Kenyataan ini mengganggu pikiran saya. Ada sesuatu yang ganjil...
Bila berbicara tentang Kalimantan, maka kita tidak dapat mengabaikan orang Dayak sebagai suku bangsa asli penguasa pulau. Dengan kearifannya, orang Dayak sangat menjunjung tinggi harmoni alam. Orang Dayak merupakan petani yang baik. Akan tetapi, tetap saja di beberapa tempat terjadi paceklik. Mengapa?
Sudah dikatakan bahwa orang Dayak adalah petani yang baik, ulet dan pantang menyerah. Seluruh kearifan adat budayanya didasarkan pada harmoni alam yang teguh. Ternyata itu belum cukup untuk membangun kesejahteraan hidup yang layak di tengah-tengah dunia. Bila ingin maju, maka orang Dayak harus belajar untuk menerima teknologi baru yang pasti lebih baik, mencerap kearifan di luar dirinya dengan bijaksana. Dewasa ini, dengan teknologi pertanian yang modern, ternyata alam bisa juga sedikit banyak dikendalikan oleh tangan manusia. Tanpa kehilangan kearifan adat budayanya, selayaknya orang Dayak memanfaatkan teknologi itu untuk kesejahteraannya.
Bulan April, Mei, dan Juni merupakan bulan-bulan Nosu Mino Podi, Pesta Gawai Padi Baru atau Tahun Baru Padi. Tentu saja bulan-bulan tersebut merupakan momen yang menggembirakan. Usaha satu tahun kita nikmati dengan sukacita, sambil bersyukur kepada Tuhan atas rahmat pemberiannya. Even-even besar dilaksanakan. Festival Budaya Dayak dapat dikunjungi di segala daerah. Makan-minum sampai kenyang silih berganti diadakan di kampung-kampung. Namun, harus pula disadari, pesta ini bukan pesta ‘habis-habisan’ yang meludeskan padi di lumbung, mengancam babi dan ayam di kandang. Pesta ini kiranya terutama menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi seluruh kehidupan selama setahun yang lampau, sekaligus juga membuat rencana yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Apabila tidak ada evaluasi dan rencana, di situlah paceklik berubah dari kata menjadi rasa.
Masih ada hidup setahun yang akan datang. Oleh sebab itu, awaskan diri dari paceklik. Pesta yang berlebihan akan menguras lumbung sehingga licin. Apabila tidak bijaksana, maka tidak ada lagi sisa untuk makan sehari-hari. Kan tidak lucu jika petani padi membeli beras di warung. Pesta itu perlu, bersyukur itu wajib. Akan tetapi Tuhan pasti juga tidak mau jika kemudian kita melarat.
Sembari bergembira-ria, mari kita bangun beberapa hal:
1. Membuka diri kepada dunia pertanian yang lebih modern, tanpa kehilangan identitas kita sebagai orang Dayak yang mencintai alam. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak menyejahterakan kita, selayaknya abaikan. Boleh jadi di masa mendatang kita turut disalahkan karena mempertahankan kebiasaan yang merugikan.
2. Me-manage kehidupan. Itu berarti kita harus membuat rencana. Buatlah rencana yang masuk akal dan tidak bertele-tele. Hal-hal logis tentu akan mudah kita laksanakan, dan dengan demikian target kesejahteraan sehari-hari tercapai.
3. Mengabaikan pesta berlebihan. Pesta-pesta yang menguras waktu, tenaga, dan usaha selama setahun tentu sangat naif dipertahankan. Itu berarti kita mencintai kemelaratan. Bukan pesta yang seharusnya mengatur kita, melainkan kitalah yang seharusnya mengatur pesta.
Apa pendapat Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar