Pengertian teologi:
Istilah “Teologi” tidak hadir begitu saja dalam khazanah bahasa
Istilah teologi yang demikian begitu sederhana, bahkan membingungkan. Sekurang-kurangnya kita akan bertanya, “bagaimana memulainya?” atau, “apa saja lingkupnya?” atau, “batasannya bagaimana?” pertanyaan-pertanyaan itu, jika dijawab satu persatu maka hanya membentuk pengetahuan harian. Dengan demikian pengertian di atas jelas tidak dapat mencakup pengertian teologi, dan lebih spesifik dalam Gereja Katolik.
Teologi, walaupun berbicara tentang Allah, yang adikodrati (melebihi atau di atas kodrat) ia merupakan hasil kegiatan intelektual dan ilmiah manusia.Jika disebut hasil tindakan intelektual, maka ia merupakan produk dari sebuah kesadaran yang tahu dan mengetahui. Jika ia disebut metodis, maka seyogyanya ia adalah produk yang metodis, sistematis, dan saling berkaitan antara penjelasan satu dengan penjelasan yang lain.
Samakah teologi dengan ilmu pengetahuan empiric?
Bila dilihat dari konsep di atas, maka kita dapat menyebutkan bahwa antara teologi dan empirikologi (empiris berasal dari kata Yunani, empeiria = pengalaman) memiliki persamaan dan perbedaan: keduanya sama bila berbicara tentang tindakan intelektual dan ilmiah, yaitu tindakan inderawi dan logis. Keduanya berbeda justru pada obyek dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Empirikologi tidak sampai pada adikodrati. Ia mengabaikan hal-hal di luar logika dan fakta. Jadi, teologi melampaui pemahaman empirikologi.
Sejalankah teologi dengan filsafat?
Dalan hal ini teologi sejalan dengan filsafat. Namun, kedekatan itu bukan berarti sama. Teologi melampau filsafat! Bagaimanapun, filsafat masih merupakan ilmu kodrati, sedangkan teologi adalah ilmu adikodrati. Demikianlah, adikodrati hanya dapat diperoleh manusia jika Allah menyampaikan diri secara khusus kepada kita. Itulah yang disebut revelasi (pewahyuan).
Teologi melampaui empirikologi dan filsafat:
Jauh sebelum Gereja Katolik histories ada, adalah orang Yahudi, yang sama seperti bangsa lainnya mencari kebenaran dari pengalaman-pengalaman hariannya yang bersifat adikodrati. Kebenaran itu menjadi keyakinan karena berurat dan berakar sedemikian kuat karena pewartaan. Pewartaan itu diterima Gereja Katolik juga sebagai pewartaan Gereja katolik yang kokoh dalam suatu tradisi religius tertentu, yang disebut tradisi Yahudi-Kristiani. Seseorang menjadi anggota Gereja Katolik karena ia menanggapi keyakinan itu secara positif. Dan, keyakinan itu adalah iman.
Nah, Gereja tidak puas hanya sampai pada pengalaman-pengalaman harian yang adikodrati begitu saja. Gereja berupaya menjelaskan pengalaman harian itu secara ilmiah. Akan tetapi, pada kenyataannya, pengalaman harian Gereja jauh melampaui pengalaman kodrati. Oleh sebab itu, pengalaman harian mereka dirangkum dalam ilmu yang bukan empiric dan melampaui filsafat. Itulah ilmu iman, yang menerangkan secara intelekt, ilmiah, dan koheren (bertautan). Hanya dengan ilmu demikian maka pewahyuan Allah dapat dimengerti dan dipahami secara menyeluruh. Itulah teologi!
Kesimpulannya?
Jika diurutkan, maka dari ketiga ilmu itu, yang memiliki hasil terendah menurut cara memperoleh kebenarannya adalah empirikologi. Karena cara memperoleh kebenaran factual itulah, banyak ahli empirikologi jatuh pada ketidakpercayaan pada yang adikodrati. Filsafat berada di tengah-tengah. Ia mengatasi segala ilmu empiric, dan menjadi dasar bagi empirikologi. Filsafat disebut mater scientia (Ibu Ilmu Pengetahuan). Tempat teratas, dan jagoannya, adalah teologi sendiri. Wajar saja, teologi memang membahas Pencipta dari ilmu-ilmu tersebut.: P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar