Kamis, 22 Juli 2010

ORANG MUDA KATOLIK

POTENSI MEREKA BAGI KEKINIAN GEREJA

 

Siapa yang tidak sepakat dengan pernyataan ini: “Orang Muda Katolik adalah modal dasar bagi perkembangan Gereja masa kini dan masa depan”? Pendapat ini tentu saja benar.

Tanpa orang muda, apa jadinya peradaban umat manusia? Sudah demikian adanya, bahwa di dalam kehidupan manusia, kita mengalami fase perkembangan yang berbeda-beda. Para psikolog membagi fase perkembangan manusia dengan empat tingkatan: kanak-kanak, anak-anak, remaja, dewasa. Tentu saja hal ini dapat diperinci lagi.

Dalam tulisan ini, saya secara khusus menaruh perhatian pada “Kesempatan yang harus diberikan kepada kaum muda, agar mereka dapat take action sesegera mungkin, sebagai bagian dari Gereja.

Kaum muda sendiri dapat didefinisikan sebagai penduduk yang berusia antara 15 – 35 tahun (penjelasan dari BPS). Pendapat ini di’amini’ oleh banyak Gereja lokal di Indonesia. Di beberapa keuskupan Indonesia, para petinggi Gereja menggunakan batasan serupa. Namun, kebanyakan organisasi muda katolik mengabaikan batasan yang demikian.Ttetap saja usia bukanlah batasan yang jelas. Yang penting adalah bahwa seseorang memiliki semangat muda, tentu saja dapat disebut sebagai orang muda.

            Bagaimanapun juga, kaum muda harus dilihat sebagai fase perkembangan manusia yang berada pada taraf tertentu, dengan kualitas dan ciri tertentu, istimewa, dengan hak dan kewajiban – peranan serta kewajiban tertentu, dan dengan potensi dan kebutuhan tertentu pula. Baiklah dilihat profil kaum muda secara sekilas.

 

A.     Potensi Orang Muda

1.      Intelektual

Sejalan dengan perkembangan fisik yang cepat, kemampuan intelektual mereka juga berkembang. Mereka mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. Mereka mampu berpikir melampaui kehidupannya, baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Berpikir abstrak ini sering disebut sebagai berpikir formal operasional.

Berkembangnya kemampuan berpikir formal operasional pada kaum muda ditandai dengan tiga hal, yaitu:

a.       mereka mulai mampu melihat  tentang kemungkinan-kemungkinan;

b.      mereka mampu berpikir ilmiah: dari mulai merumuskan masalah, membatasi masalah, menyusun hipotesa, mengumpulkan dan mengolah data sampai dengan menarik kesimpulan;

c.       mereka mampu memadukan ide-ide secara logis, dan memadukan ide-ide tersebut ke dalam kesimpulan yang logis.

 

2.      Sosial dan Moral

a.      Sosial

Orang muda telah mempunyai pemikiran-pemikiran logis, tetapi dalam pemikiran logis ini mereka sering menghadapi kebingungan antara pemikirannya dengan pemikiran orang lain. Pada akhirnya mereka mengembangkan sikap egosentris,  berupa pemikiran-pemikiran subyektif logis dirinya tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam masyarakat atau kehidupan pada umumnya.

Egosentris ini sering muncul atau diperlihatkan dalam hubungan dengan orang lain, mereka tidak dapat memisahkan perasaan dia dan perasaan orang lain tentang dirinya.

Rasa kepedulian mereka terhadap kepentingan dan kesejahteraan orang lain cukup besar, tetapi kepedulian ini masih dipengaruhi oleh sifat egosentris. Mereka belum bisa membedakan kebahagiaan atau kesenangan yang dasariah dan yang sesaat, memperhatikan kepentingan orang secara umum atau orang-orang yang dekat dengan mereka.

 

b.      Potensi Moral

Orang muda mulai mengembangkan nilai moral berkenaan dengan rasa bersalah, bukan saja karena berbuat tidak baik, tetapi juga bersalah karena tidak berbuat baik. Dalam perkembangan nilai moral ini, masih ada kesenjangan. Orang muda sudah mengenal prinsip-prinsip yang mendasar, tetapi mereka belum mampu melakukannya, mereka sudah menyadari bahwa membahagiakan orang lain itu adalah baik, tetapi mereka belum mampu melihat cara merealisasikannya.

 

3.      Beragama dan Berkeyakinan

Perkembangan pemikiran orang muda mempengaruhi perkembangan pemikiran dan keyakinan tentang agama. Kalau pada tahap kanak-kanak pemikiran agama bersifat dogmatis, masih dipengaruhi oleh pemikiran yang bersifat konkret dan berkenaan dengan sekitar kehidupannya, maka orang muda sudah berkembang lebih jauh. Mereka mendasarkan pemikiran-pemikiran agama dengan pemikiran rasional, menyangkut hal-hal yang bersifat abstrak atau gaib dan meliputi hal-hal yang lebih luas. Orang muda yang mendapatkan pembinaan agama yang intensif, bukan saja telah memiliki kebiasaan melaksanakan kegiatan peribadatan atau ritual agama, tetapi juga telah mendapatkan atau menemukan kepercayaan-kepercayaan khusus yang lebih mendalam yang membentuk keyakinannya dan menjadi pegangan dalam merespon masalah-masalah dalam kehidupannya.

Keyakinan yang lebih luas dan dalam ini bukan hanya diyakini atas dasar pemikiran, tetapi juga atas dasar keimanan. Perlahan-lahan mereka mengembangkan pemikiran Tuhan yang sesungguhnya, melepaskan diri dari gambaran Tuhan yang berciri manusia.

 

B.     Identitas Orang Muda

Mereka mulai menyadari dan karena itu menolak segala upaya orang lain untuk membentuk mereka. Mereka mau mencari dan membentuk pribadinya, identitasnya sendiri. Tetapi itu tidak berarti mereka tidak mau menerima campur tangan luar. Mereka mau menerima bimbingan penuh pengertian dari generasi tua, tetapi yang diharapkan adalah perlakuan sebagai teman sederajad dalam ide dan gagasan. Mereka mau dihargai sebagai pribadi yang sedang mempribadi, yang dalam proses mencari identitas dirinya.

Dalam proses itu, kaum muda mencari tokoh-tokoh, cita-cita, ide-ide, yang dapat menjadi tokoh identifikasi. Diawali dengan meniru tokoh identifikasi itu, lambat-laun mereka mulai membentuk sikap, prilaku dan pandangannya sendiri. Mereka mulai mampu melihat segala sesuatu dengan skala nilainya sendiri, sambil mencari alternative lain: tidak mau sekedar menyelaraskan diri dengan adat dan norma. Bahkan, kaum muda cenderung menolak kompromi dengan cara memberontak dan melawan situasi mapan untuk mengubah masyarakatnya, baik dalam tata hidup sosial maupun tata hidup moral dan keagamaan umumnya.

Bebas dan lepas yang diinginkan oleh kaum muda tidak lain daripada ketidakterikatan pada aturan-aturan ketat dalam adat dan norma. Bebas dan lepas yang diinginkan mereka tidak lain dari pada dambaannya untuk menentukan sendiri sikap, tindakannya dan masa depannya, terlepas dari kemampuan mereka untuk itu. Mereka mau mendapatkan pengakuan, yang berupa dorongan ego sebagai salah satu dorongan terkuat dalam diri orang muda, dan karena itu membutuhkan kesempatan untuk menyatakan diri dan membuktikan diri bisa berbuat sesuatu. Mereka tidak mau bahwa segalanya ditentukan hanya oleh orang tua, orang dewasa umumnya, dan Gereja saja.

 

C.     Kekinian Orang Muda

Anggapan umum yang sudah biasa didengar, bahwa kaum muda adalah generasi masa depan, yang karena itu belum punya tempat dan peranan dalam masa kini. Mereka baru dalam tahap persiapan untuk berperan nanti, apabila mereka tidak muda lagi.

Dengan menuntut kepercayaan dalam kehidupan masyarakatnya, kaum muda sampai pada kesadaran yang sangat penting akan diri mereka sebagai komponen masa kini. Dengan menuntut peran sekarang ini, kaum muda seolah-olah ingin melawan dalil kaum tua yang sering dijadikan alasan untuk tidak memberi peranan: orang muda belum bisa apa-apa, mereka belum punya pengalaman, dan seterusnya.

Kaum muda mau dianggap sebagai pekerjasama yang setaraf dengan generasi pendahulu. Hal ini menandakan bahwa kaum muda menginginkan suatu tanggung jawab yang penuh dalam partisipasi hidup menggereja dan memasyarakat. Itu berarti bahwa mereka tidak boleh dianggap sebagai pembantu, atau sebagai pelaksana gagasan orang tua saja. Mereka mau setara dalam partisipasi, mulai dari menggagaskan, merencanakan sampai melaksanakan dan meninjau kembali. Mereka ingin diberi peranan dan tanggung jawab sekarang ini, dan hanya dengan jalan itu mereka dapat menyambut dan menata masa depan.

Mengakui kaum muda sebagai komponen masa kini dan karena itu memberi peranan serta tanggung jawab kepada mereka kini, harus disadari pula sebagai salah satu bentuk dan sisi lain dari pembinaan mereka. Karena pada dasarnya mereka adalah mata rantai yang menghubungkan masa kini dan masa depan, dengan segala potensi, namun dengan segala keterbatasannya. Kedudukan yang strategis ini perlu disadari oleh kaum muda sendiri sebagai motivasi bagi keterlibatan dan partisipasi mereka dalam berbagai bentuk hidup sosial. Sekurng-kurangnya agar mereka mampu mencegah segala usaha kaum vested interest yang sering mau memperalat mereka.

 

D.    Kaum Muda dan “Dewasa Instant”

Salah satu sisi terpenting lainnya yang tidak boleh dikesampingkan dalam upaya membentuk membentuk konsep dasar tentang kaum muda ialah bahwa mereka dalam masa transisi masyarakat dan Gereja. Kaum muda mempunyai skala nilai sendiri dan mampu memandang persoalan dari berbagai segi. Namun, hal itu bukan terarti bahwa mereka sudah memiliki pegangan yang serba jelas. Sebaliknya, khususnya dalam masa remaja, mereka masih sangat labil. Tidak jarang mereka menjadi bingung sendiri menghadapi gejala-gejala pertumbuhan fisik-biologis, khususnya gejolak-gejolak seksualitas dalam dirinya. Kebingungan ini menjadi semakin rawan, oleh transisi nilai sosio-budaya yang melanda masyarakat.

Sementara itu, laju pembangunan dan modernisasi serta lancarnya arus komunikasi massa, kemudahan-kemudahan dalam kontak antar suku dan bangsa telah menggoyahkan tata nilai dan norma-norma lama. Masyarakat cenderung melepaskan nilai-nilai tradisional yang acapkali disamakan begitu saja dengan kekolotan, dan sering dengan mudah mengambil alih apa saja yang berbau barat. Kecenderungan itu lebih kuat lagi melanda kaum muda, seringkali tanpa sikap kritis. Baik terhadap nilai-nilai tradisional adat maupun terhadap nilai-nilai baru yang tanpa sadar mereka terima begitu saja. Di tempat yang masyarakatnya masih menghormati nilai-nilai tradisional, nilai-nilai adat masih mengikat mereka sehingga memperlambat dalam berhubungan dengan nilai-nilai kristiani.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat mau melepaskan diri dari tata nilai dan norma lama. Sayangnya, masyarakat ternyata belum berhasil memegang tata nilai dan norma yang baru. (Seperti kata pepatah, “Bodoh sudah lewat, pintar belum dating”).

Menghadapi transisi yang membingungkan itu, kaum muda sering dituntut untuk bersikap dewasa. Mereka menjadi “Dewasa secara Instant”. Hal ini bukan saja melampaui batas kemampuan mereka, melainkan juga keliru. Sebab dengan demikian, kaum muda semata-mata dipandang sebaga pra-dewasa, pra-orang tua. Pandangan dan tuntutan ini tidak memberi peluang bagi kaum muda untuk menjadi dirinya sendiri, menemukan identitasnya sendiri. Konsep kedewasaan sudah digariskan oleh orang tua secara normatif. Lalu dengan ukuran ini orang-orang muda sering dinilai kaum tua sebagai serba kurang: kurang mampu, kurang pengetahuan agama, kurang penghayatan iman, kurang bermoral, kurang bertanggung jawab, dan sebagainya.