Kamis, 16 April 2009

Katekis Mari memahami arti, posisi, spiritualitas, tugas, dan persiapan menjadi katekis

1. Pengantar
Di tengah zaman yang semakin beragam, maka dituntut pula tenaga-tenaga yang tangguh dalam pewartaan iman. Bertolak belakang dengan perkembangan itu, susutnya jumlah orang muda yang terpanggil hidup menjadi seorang imam sangat memprihatinkan. Sedikitnya jumlah imam, biarawan dan biarawati pasti berpengaruh terhadap meluas dan mendalamnya pelayanan yang akan berakibat pada mutu iman umat.
Sembari merefleksikan keadaan di atas, patut disyukuri keterbukaan Gereja dengan menyatakan bahwa seluruh anggota Gereja memiliki derajat yang sama, walaupun masing-masing anggota Gereja memiliki fungsi yang khas pula. Kaum awam, yang tidak diperhitungkan keberadaannya pada masa sebelum Konsili Vatikan II, disadari juga sangat membantu perluasan hal yang disebut evangelisasi baru. Dari tengah-tengah kaum awam itu, ada pula yang disebut katekis. Mereka merupakan sekelompok orang yang mengalami pendidikan khusus perihal iman katolik, dan tentu saja bertugas mewartakan iman tersebut.
Tulisan ini merupakan ‘pengayaan’ dalam pendidikan agama katolik SMA kelas XI, perihal tugas kaum awam (Pelajaran 4: Hubungan Awan dan Hirarki sebagai Partner Kerja) yang ditujukan kepada semua saja para katekis, guru pendidikan agama katolik, dan kaum muda yang berkeinginan kuat menjadi pewarta sabda.

2. Pengertian
Katekis secara sederhana dapat dimengerti sebagai orang yang ber-katekese. Katekese sendiri, dalam anjuran apostolik Cathecesi Tradendae, Paus Yohanes Paulus II didefinisikan sebagai berikut:
Katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang-orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen, yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen (CT 28).

Apakah semua anggota Gereja dapat disebut katekis? Setiap anggota Gereja, karena pembaptisan mereka, mereka menjadi nabi, imam dan raja. Oleh sebab itu, adalah kewajiban seluruh anggota Gereja untuk mengajar iman katolik. Akan tetapi, tidak semua orang sanggup membina dalam ajaran iman Katolik. Karena itulah Gereja mengutus katekis-katekisnya. Para katekis itu seharusnya para imam (Bdk. Kitab Hukum Kanonik, Kanon 773). Akan tetapi, karena kekurangan imam, dan juga karena lingkup pewartaan yang terbatas (tidak dapat menyentuh hal-hal detail seluruh aspek kehidupan) maka dipilihlah para katekis dari lingkungan kaum awam:
Para pastor paroki, demi jabatannya harus mengusahakan pembinaan katekis orang-orang dewasa, kaum remaja dan anak-anak; untuk tujuan itu hendaknya ia mempergunakan bantuan tenaga para klerikus yang diperbantukan kepada paroki, tenaga para anggota tarekat hidup bakti dan serikat hidup kerasulan [...] serta tenaga orang beriman kristiani awam, terutama para katekis [...] (KHK 776)

Gereja membatasi bahwa yang disebut katekis adalah para awam, baik pria maupun wanita, yang diberi kursus agama atau apabila mungkin diusahakan agar mereka mengikuti pendidikan formal seperti Pendidikan Guru Agama, Sekolah Tinggi Katekatik, Institut Pastoral, dan sejenisnya. Demikian Kitab Hukum Kanonik (KHK) dianjurkan agar para Ordinaris Wilayah (Uskup) memiliki katekis-katekis yang dipersiapkan dengan baik dan yang dibina terus-menerus (Kanon 780).

3. Kedudukan Katekis dalam Gereja
Merujuk pada pengertian di atas, maka dapatlah ditentukan kedudukan katekis di dalam Gereja. Katekis, merupakan rekan kerja para hirarki dalam pelayanan yang berguna untuk membangun Gereja. Setiap kebijakan misioner para katekis harus berada di bawah kebijakan ordinaris wilayah (uskup) dan para pembantunya (para imam). Karena kekhasan fungsinya, kaum hirarki menjadi isimewa dalam pelayanan pewartaan. Akan tetapi, katekis bukan hanya sebagai pelengkap penyerta saja. Ia, dengan fungsinya yang khas pula (yakni bertugas di tengah tata dunia) menjadi teman seperjuangan yang patut diperhatikan nasehat dan tindakannya sejauh demi kepentingan Gereja.
Di tengah kaum awam sendiri, seorang katekis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan para awam lainnya. Pewartaan dalam tata dunia dilaksanakan secara bersama-sama. Akan tetapi, tidak semua hal dalam pewartaan itu dapat dilaksanakan oleh semua awam. Dalam tugas-tugas khusus, di sinilah katekis menjadi bentara Gereja.

4. Spiritualitas
Sejatinya, spiritualitas katekis adalah hidup dalam Roh Kudus. Roh Kudus membantu dan memperbarui katekis terus-menerus dalam identitas khusus, dalam panggilan dan tugas perutusannya. Dengan bantuan dan pembaruan dari Roh Kudus, seorang katekis mengalami suatu motivasi yang baru dan khusus, suatu panggilan kepada kesucian hidup.
Katekis adalah misionaris. Paus Yohanes Paulus II berkata, “Misionaris sejati adalah santo” (Redemptoris Missio 90 [RM 90]). Sama seperti para kudus yang mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidup mereka, katekis juga mewartakan hidup Yesus Kristus di dalam hidupnya. Itu berarti bahwa pewartaan katekis bukan hanya melalui ucapan kata saja, melainkan juga melalui seluruh aspek kehidupannya. Dengan demikian seorang katekis bukan saja pewarta katekismus, tetapi dia sendiri adalah katekismus.
Bunda Maria adalah teladan iman. Sikap menyerah pada penyelenggaraan ilahi menuntunnya pada misteri penyelamatan. Sikap yang demikian lah yang merasuki semangat kerasulan seorang katekis, yakni membiarkan karya Allah terlaksana melalui dan dalam diri mereka.
Oleh sebab itu, spiritualitas katekis memiliki ciri-ciri: terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap Gereja dan dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, bersemangat misioner, dan menaruh hormat dan devosi kepada Bunda Maria.

5. Tugas
Tugas khusus katekis adalah mengajarkan katekese. Tugas ini mencakup pendidikan kaum muda dan orang dewasa dalam hal iman, menyiapkan para calon dan keluarganya untuk menerima sakramen-sakramen inisiasi dalam Gereja, dan membantu memberikan retret dan pertemuan-pertemuan lainnya yang terkait dengan katekese (Bdk. RM 74)
Katekis bekerjasama dalam berbagai bentuk kerasulan dengan kaum hirarki. Bimbingan dan pengarahan dari para petugas Gereja ini akan diterima dengan senang hati oleh para katekis. Tugas mereka dalam hal ini antara lain: mengajar orang-orang bukan kristen; memberi katekese kepada para katekumen dan mereka yang sudah dibaptis; memimpin doa dalam kelompok, terutama pada liturgi dan hari Minggu ketika tidak ada imam; membantu orang sakit dan mempimpin upcara penguburan; memberi pelatihan kepada katekis lainnya di pusat-pusat khusus atau bimbingan katekis relawan dalam karya mereka; mengambil inisiatif-inisiatif pastoral dan mengorganisir tugas-tugas paroki; membantu orang miskin dan bekerja untuk penbangunan manusia dan keadilan.

6. Persiapan menjadi seorang katekis
Menjadi katekis tidaklah mudah, mengingat tugas yang dipercayakan kepada mereka sangat sukar. Oleh sebab itu, para katekis perlu dipersiapkan sedemikian rupa melalui pembinaan dan pendidikan yang tepat, sehingga menjadi pejuang-pejuang misi yang tangguh.
Beberapa hal patut diperhatikan berkenaan dengan hal itu:
a. Memupuk semangat bertanggung jawab, bersukacita di dalam tugas pelayanan yang diberikan kepadanya.
b. Memiliki motivasi yang baik dan tidak mencari kedudukan sebagai katekis hanya karena tidak tersedia pekerjaan lain yang lebih disukai. Kualitas yang harus dimiliki: iman yang terungkap dalam kesalehannya dan kehidupannya sehari-hari; cinta akan Gereja dan menjalin hubungan erat dengan para imam; cinta akan saudara-saudarinya dan bersedia memberi pelayanan dengan murah hati; memiliki pendidikan yang memadai; hormat akan umat; mempunyai kualitas manusiawi, moral, dan teknis yang diperlukan sebagai seorang katekis.

7. Penutup: sebuah refleksi
Akan jadi apakah Gereja apabila katekis melupakan arah dan tujuan panggilannya? Umat prihatin apabila ucapan dan tindakan katekis tidak sejalan. Seharusnya katekis pertama-tama bukan mengajar dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan di dalam hidupnya. Apabila ini dipahami sedemikian rupa, maka umat tidak akan melihat katekis yang duduk di warung kopi sambil bermain judi, alkoholik, dan sebagainya.
Para calon katekis di dalam pendidikan kelak harus mampu mengimplementasikan ilmu-ilmu dari diktat ke dalam kehidupannya. Menjaga hubungan kerjasama dengan otoritas hirarki akan jauh lebih baik menjadi dasar membangun Gereja daripada menjadikan para hirarki itu ‘saingan’. Katekis tidak akan mampu berkarya tanpa singgungan langsung dengan kebijakan pimpinan Gereja.
Kaum muda yang berkeinginan kuat menjadi seorang katekis hendaknya memupuk semangat iman sejak dini, sehingga memiliki kepekaan mewartakan imannya. Yakinlah, bila ada keinginan baik di dalam hati maka segala kekurangan akan tertutupi. Tidak semuanya sempurna, tetapi penting untuk terus berusaha sampai kepada kesempurnaan itu.

(Dari berbagai Sumber)

MENGAWASKAN PACEKLIK Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi

Refleksi Kehidupan:

MENGAWASKAN PACEKLIK
Refleksi di bulan-bulan Nosu Mino Podi
Oleh: ROBERTUS REDI


Di bawah pemerintahan Presiden Suharto, pada tahun 1983 Indonesia mampu berswasembada beras. Selang beberapa tahun kemudian, Indonesia sudah mengekspor beras ke manca negara. Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang dicanangkan pemerintah di bidang pertanian mendulang sukses besar. Bayangkan, betapa banyak beras ketan Indonesia yang harus dibarter seharga sebuah pesawat terbang. Dan itu pernah terjadi, ketika Indonesia membeli pesawat terbang dibarter beras ketan. Luar biasa! Hingga saat ini, pemerintah terus memperhatikan aktivitas pertanian. Misalnya saja, kasus bibit padi Super Toy yang gagal panen. Walaupun gagal, tetap saja ada usaha untuk mengangkat citra Indonesia sebagai negara pertanian. Lebih dekat lagi, menjelang pemilihan presiden (Pilpres): banyak calon presiden menggunakan isu pertanian sebagai janji politik. Janji ini belum terbukti kebenarannya. Namun, tetaplah ada itikad baik untuk melanjutkan nama besar Indonesia sebagai negara argraris.
Perkembangan usaha di bidang pertanian itu memojokkan kata paceklik sebagai kosakata di dalam kamus saja. Generasi terkini Indonesia hampir tidak mengenal kata paceklik selain untuk mengisi jawaban soal ujian, atau sekedar pengetahuan. Berbeda dengan kakek-nenek mereka yang mengenal kata tersebut dari merasakannya, generasi terkini mayoritas hidup dengan berlimpah pangan.
Tidak asinglah bila terjadi paceklik di beberapa daerah di Indonesia. Hal itu tidak dapat dihindari karena alam yang memang tidak menguntungkan untuk menanam pangan pokok. Lain ceritanya paceklik terjadi di Kalimantan, pulau yang subur makmur, surga flora dan fauna, paru-paru dunia. Tidak lucu, melainkan menyedihkan.
Kenyataan ini mengganggu pikiran saya. Ada sesuatu yang ganjil...
Bila berbicara tentang Kalimantan, maka kita tidak dapat mengabaikan orang Dayak sebagai suku bangsa asli penguasa pulau. Dengan kearifannya, orang Dayak sangat menjunjung tinggi harmoni alam. Orang Dayak merupakan petani yang baik. Akan tetapi, tetap saja di beberapa tempat terjadi paceklik. Mengapa?
Sudah dikatakan bahwa orang Dayak adalah petani yang baik, ulet dan pantang menyerah. Seluruh kearifan adat budayanya didasarkan pada harmoni alam yang teguh. Ternyata itu belum cukup untuk membangun kesejahteraan hidup yang layak di tengah-tengah dunia. Bila ingin maju, maka orang Dayak harus belajar untuk menerima teknologi baru yang pasti lebih baik, mencerap kearifan di luar dirinya dengan bijaksana. Dewasa ini, dengan teknologi pertanian yang modern, ternyata alam bisa juga sedikit banyak dikendalikan oleh tangan manusia. Tanpa kehilangan kearifan adat budayanya, selayaknya orang Dayak memanfaatkan teknologi itu untuk kesejahteraannya.
Bulan April, Mei, dan Juni merupakan bulan-bulan Nosu Mino Podi, Pesta Gawai Padi Baru atau Tahun Baru Padi. Tentu saja bulan-bulan tersebut merupakan momen yang menggembirakan. Usaha satu tahun kita nikmati dengan sukacita, sambil bersyukur kepada Tuhan atas rahmat pemberiannya. Even-even besar dilaksanakan. Festival Budaya Dayak dapat dikunjungi di segala daerah. Makan-minum sampai kenyang silih berganti diadakan di kampung-kampung. Namun, harus pula disadari, pesta ini bukan pesta ‘habis-habisan’ yang meludeskan padi di lumbung, mengancam babi dan ayam di kandang. Pesta ini kiranya terutama menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi seluruh kehidupan selama setahun yang lampau, sekaligus juga membuat rencana yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Apabila tidak ada evaluasi dan rencana, di situlah paceklik berubah dari kata menjadi rasa.
Masih ada hidup setahun yang akan datang. Oleh sebab itu, awaskan diri dari paceklik. Pesta yang berlebihan akan menguras lumbung sehingga licin. Apabila tidak bijaksana, maka tidak ada lagi sisa untuk makan sehari-hari. Kan tidak lucu jika petani padi membeli beras di warung. Pesta itu perlu, bersyukur itu wajib. Akan tetapi Tuhan pasti juga tidak mau jika kemudian kita melarat.
Sembari bergembira-ria, mari kita bangun beberapa hal:
1. Membuka diri kepada dunia pertanian yang lebih modern, tanpa kehilangan identitas kita sebagai orang Dayak yang mencintai alam. Kebiasaan-kebiasaan yang tidak menyejahterakan kita, selayaknya abaikan. Boleh jadi di masa mendatang kita turut disalahkan karena mempertahankan kebiasaan yang merugikan.
2. Me-manage kehidupan. Itu berarti kita harus membuat rencana. Buatlah rencana yang masuk akal dan tidak bertele-tele. Hal-hal logis tentu akan mudah kita laksanakan, dan dengan demikian target kesejahteraan sehari-hari tercapai.
3. Mengabaikan pesta berlebihan. Pesta-pesta yang menguras waktu, tenaga, dan usaha selama setahun tentu sangat naif dipertahankan. Itu berarti kita mencintai kemelaratan. Bukan pesta yang seharusnya mengatur kita, melainkan kitalah yang seharusnya mengatur pesta.
Apa pendapat Anda?